Minggu, 07 Juni 2009

SENGKETA AMBALAT: Sengketa Batas Wilayah Berkelanjutan Antara Negara Serumpun Indonesia dengan Malaysia

Beberapa minggu terakhir ini harian surat kabar, dan media di Indonesia dipenuhi dengan liputan terkait provokasi Kapal Perang Tentara Laut Diraja Malaysia di wilayah laut Ambalat. Pelanggaran batas wilayah teritorial ini mengingatkan kembali ketegangan Indonesia dengan Malaysia pada tahun 2004-2005 di lokasi yang sama hingga kedua negara mengerahkan kekuatan militernya untuk menjaga batas teritorialnya.

Sebenarnya permasalahan ini sudah terjadi sejak lama (sejak dibuatnya peta wilayah oleh Malaysia tahun 1979), dan merupakan peninggalan pemerintah kolonial yang pernah menduduki wilayah di Indonesia dan Malaysia. Dimana peta-peta yang ditinggalkan “colonial masters” tidak pernah jelas dalam penarikan batas wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia Tenggara setelah negara-negara itu mendapat kemerdekaan. Hal inilah yang berakibat pada muncullah permasalahan hingga saat ini.

Permasalahan Ambalat ini mulai memanas setelah kekalahan Indonesia dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang memeriksa perkara Pulau Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 yang kemudian menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia didakwa "tidak" menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah ada "penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)", baik oleh Belanda maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia melakukannya. Padahal, jarak kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan Indonesia dibandingkan denganMalaysia.

Dan ketika Malaysia sudah menguasai kedua pulau tersebut mereka beranggapan bahwa, mereka pun dapat menguasai wilayah Ambalat yang kaya akan minyak bumi. Hal ini dimulai dengan pemberian ijin eksplorasi kepada perusahaan minyak Shell, dimana pada area tersebut yaitu wilayah Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia), Indonesia telah memiliki ijin eksplorasi dengan ENI (Italia) dan Unocal (AS). Yang aneh adalah sebelumnya Shell membuat kontrak dengan Indonesia pada area yang sama, dan setelah kontrak tersebut berakhir digantikan oleh perusahaan minyak lain. Hal ini berkibat pada munculnya dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas). Oleh karenanya pada tahun 2004 Malaysia mengirim kapal perang atau pesawat tempur ke Indonesia, apalagi dengan adanya tindakan provokasi warga kita yang sedang membangun suar di Karang Unarang karena dianggap melanggar batas wilayah laut mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena Karang Unarang adalah suatu low tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia) berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.

Pada dasarnya yang menjadi bahan perdebatan antara Indonesia dan Malaysia adalah terkait dengan bentuk negara berdasarkan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dimana menurut fakta yang ada menyatakan negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Indonesia disebut sebagai negara kepulauan karena Indonesia merupakan negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, yang mana ketentuan ini diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982.

Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diatur dalam Pasal 47 ayat 1 UNCLOS 1982 yang kemudian diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Sedangkan Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan. Hal ini didasarkan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.

Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai aturan khusus yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang dianggap kecil (relatively small, socially and economically insignificant) tidak akan dianggap sebagai keadaan spesial dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu.

Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Dan peta yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia tersebut juga ditolak oleh Filipina dan Thailand yang juga merupakan negara tetangga mereka. Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak diterbitkan, karenapenarikan baselines yang tidak jelas landasan hukumnya. Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982. Penyelesaian setiap sengketa yang berkaitan dengan batas wilayah dalam hukum laut, haruslah diseslesaikan dengan cara damai seperti yang diatur dalam Pasal 279 UNCLOS 1982 dimana disebutkan bahwa :

“Negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini harus mencarai penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 piagam tersebut.”

Oleh karenanya merujuk ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa ini wajib dilakukan melalui jalan damai, dan pengerahan kekuatan militer hanyalah ditujukan untuk menjaga wilayah perbatasan saja, dan tidak digunakan untuk kepentingan yang lain

Banyak cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Sebetulnya apabila dilihat Indonesia dan Malaysia tidak perlu membawa permasalahan ini ke Mahkamah Internasional, karena sebagai negara anggota ASEAN sebaiknya permasalahan ini diselesaikan menggunakan lembaga untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia Tenggara secara regional. Persoalan mekanisme regional ini (the question of regional conflict resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN melaui gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security Community (ASC), namun tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal. Malaysia dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua dokumen resmi itu yang menekankan resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga mempertimbangkan implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah suatu ironi besar jika kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip normatif untuk penyelesaian konflik karena negara-negara ASEAN sebenarnya telah mengikat negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, melalui penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan mempromosikan ASC.

Apabila perundingan secara bilateral tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut, maka Konvensi menyediakan beberapa badan peradilan, yaitu :

- Tribunal Internasional untuk Hukum Laut;
- Mahkamah Internasional;
- Tribunal Arbitrasi;
- Tribunal Arbitrasi Khusus.

Penyelesaian sengketa Ambalat ini memang seharusnya menggunakan jalan perundingan atau cara damai. Hal ini dikarenakan terkait dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewajibkan setiap negara untuk menyelesaikan sengketa menggunakan cara damai. Dan banyak jalan yang dapat ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia terkait dengan penyelesaiaan sengketa tersebut tanpa dengan menggunakan kekuatan militer. Karena konflik bersenjata hanya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kedua negara dan msyarakatnya, apalagi Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan peta batas wilayah yang jelas mengenai batas-batas wilayah Indonesia dengan negara lain, baik itu yang ada di darat maupun dilaut. Selain itu pengelolaan pulau-pulau terluar, wilayah perbatasan dan pengawasan wilayah perbatasan perlu ditingkatakan demi menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa Indonesia. Jangan ada lagi wilayah NKRI yang lepas dari Indonesia!!! (FPW)


1 komentar:

  1. Ini juga jadi bukti bahwa ikatan dalam ASEAN belum sekuat EU, jadinya penyelesaian sengketa semacam ini jadi sering berlarut-larut..
    Ayo DEPLU..pro-aktif dong!!

    BalasHapus