Kamis, 14 Mei 2009

HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK : BEBERAPA PENGALAMAN INDONESIA SEBAGAI STUDI KASUS


Fungsi Hukum Internasional dalam konteks ilmu hukum, sebagaimana diuraikan dalam berbagai buku teks, dipahami sebagai suatu aturan atau kaedah yang berlaku bagi subyeknya.
Fungsi tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari berbagai fungsi Hukum Internasional. Fungsi lain dari Hukum Internasional adalah sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintahan suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya (international law as instrument of national policy).

Tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana Hukum Internasional dimanfaatkan sebagai instrumen politik oleh negara. Untuk mengkongkritkan permasalahan maka pengalaman Indonesia akan dijadikan sebagai studi kasus. Disini akan diperlihatkan bagaimana negara asing atau organisasi internasional menggunakan Hukum Internasional terhadap Indonesia agar menuruti kehendaknya. Selanjutnya, juga akan diperlihatkan bagaimana Indonesia telah memanfaatkan Hukum Internasional untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Pemanfaatan Hukum Internasional
A. Tiga Bentuk Pemanfaatan
Keberadaan hukum tidaklah dapat dilihat semata-mata sebagai kaedah atau norma yang harus dipatuhi. Dalam praktek dan kenyataan kerap ditemukan situasi dimana hukum dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mencapai suatu kepentingan. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan kerap dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan demi kebaikan ataupun sebaliknya. Hukum juga dijadikan alat pemaksa bagi keinginan penguasa terhadap rakyatnya. Bahkan, hukum dapat dijadikan instrumen oleh penguasa untuk mengubah perilaku masyarakatnya.
Berikut akan dibahasa satu persatu ketiga pemanfaatan Hukum Internasional sebagai instrumen politik.
1. Sebagai Pengubah Konsep
Hukum Internasional sebagai instrumen politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep (selanjutnya disebut “konsep”). Manfaat ini berangkat dari kenyataan bahwa Hukum Internasional dibentuk oleh negara. Oleh karenanya negara dapat memanfaatkan Hukum Internasional untuk mengubah atau memperkenalkan suatu konsep. Konsep ini bila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya ikat.
2. Sebagai Sarana Intervensi Urusan Domestik
Kedua, Hukum Internasional menjadi instrumen politik bertolak pada keinginan negara demi kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestik negara lain tanpa dianggap sebagai pelanggaran. Untuk keperluan ini sudah tidak dapat lagi ditempuh cara-cara berupa ancaman atau penggunaan kekerasan, ataupun dilakukan atas dasar hubungan antara penjajah dengan pihak yang dijajah.
3. Sebagai Alat Penekan
Terakhir, Hukum Internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat dari fakta bahwa dalam interaksi internasional negara saling pengaruh mempengaruhi. Negara menggunakan Hukum Internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara Hukum Internasional juga dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan tersebut.

B. Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Negara Maju terhadap Negara Berkembang
Hukum Internasional dimanfaatkan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk dua hal. Pertama adalah untuk turut terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang. Kedua dalam rangka menekan negara berkembang untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Perjanjian internasional akan dirancang oleh negara maju yang esensinya akan berpengaruh pada kebijakan dan hukum nasional dari negara berkembang. Untuk mencegah kebijakan menutup pasar oleh negara berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang berimplikasi pada liberalisasi perdagangan internasional. Untuk mencegah tindakan yang melanggar HAM oleh pemerintahan negara berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang melarang tindakan-tindakan tertentu. Demikian pula untuk mencegah kebijakan yang merusak lingkungan hidup akan dirancang suatu perjanjian internasional yang memperhatikan masalah lingkungan hidup.
Pengalaman Indonesia
Indonesia memiliki berbagai pengalaman yang terkait dengan pemanfaatan Hukum Internasional sebagai instrumen politik. Pengalaman ini dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengalaman dimana Indonesia harus mengikuti keinginan masyarakat internasional karena masyarakat internasional memanfaatkan Hukum Internasional (selanjutnya disebut “Pemanfaatan Hukum Internasional Terhadap Indonesia”) dan pengalaman Indonesia dalam memanfaatkan Hukum Internasional (selanjutnya disebut “Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Indonesia”).
a. Pemanfaatan Hukum Internasional Terhadap Indonesia
Banyak kasus yang menunjukkan dimana negara lain atau organisasi internasional menggunakan Hukum Internasional terhadap Indonesia. Hukum Internasional, utamanya perjanjian internasional, digunakan oleh negara maju untuk ‘mengekang’ kebebasan dan kedaulatan Indonesia. Tidak semua perjanjian internasional diikuti oleh Indonesia semata-mata karena kesadaran yang tinggi dari Indonesia atas masalah atau isu tertentu. Tidak sedikit perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia sebagai akibat dari desakan atau tekanan negara maju dan organisasi internasional. Ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negara maju dan lembaga keuangan internasional yang menyebabkan kerentanan Indonesia untuk memenuhi berbagai desakan dan tekanan.
Hukum Internasional pernah digunakan oleh PBB untuk menekan Indonesia agar bersedia membentuk pengadilan bagi pelaku kejahatan internasional di Timor Timur. Bila tidak maka PBB akan mendirikan peradilan internasional yang disebut International Criminal Tribunal for East Timor (ICTET) yang mirip dengan International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Ancaman pembentukan ICTET berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk mendirikan Pengadilan HAM.
Ada dua kendala utama. Pertama, beberapa perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia gagal ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Kedua, kalaupun ada perjanjian internasional yang ditransformasikan ke dalam produk hukum nasional, transformasi tersebut hanya sampai pada tingkat perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Padahal perubahan peraturan perundang-undangan di kebanyakan negara berkembang, seperti Indonesia, kadang tidak tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Lemahnya penegakan hukum merupakan salah satu dari sejumlah penyebab.
b. Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Indonesia
Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum Internasional sebagai instrumen politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil. Pertama, Indonesia telah memanfaatkan Hukum Internasional untuk memperkenalkan konsep baru demi kepentingan nasionalnya. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil memperkenalkan konsep negara kepulauan (archipelagic state). Perjuangan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957. Konsep negara kepulauan berikut berbagai konsekuensinya telah diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Diplomasi dengan Memanfaatkan Hukum Internasional
Uraian tentang bagaimana Hukum Internasional kerap dimanfaatkan sebagai instrumen politik dan merujuk pada pengalaman Indonesia maka satu hal penting yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah Hukum Internasional sebagai instrumen politik sangat penting dalam rangka menjalankan diplomasi. Hukum Internasional sedapat mungkin digunakan sebagai basis dalam menyampaikan argumentasi. Argumentasi yang berbasis hukum, utamanya Hukum Internasional, yang membuat lawan debat memperhatikan dan memaksa mereka untuk bersikap hati-hati.
Disini penting bagi para diplomat Indonesia untuk dibekali dengan pengetahuan Hukum Internasional sehingga dalam berargumentasi, menyampaikan pendapat bahkan meyakinkan diplomat atau pemerintah negara lain. Ini telah dilakukan oleh para diplomat dari negara maju. Bahkan negara maju sering memanfaatkan ketrampilan para ahli Hukum Internasional untuk membenarkan tindakan yang dilakukan.
Para diplomat negara barat biasanya memiliki kemampuan merancang sehingga produk hukum harus dibaca secara hati-hati. Adigium yang mengatakan bahwa “you have to read between the lines” dalam membaca suatu perjanjian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan membaca dokumen hukum bagi para diplomat. Ini tidak berarti memasalahkan teks secara berlebihan, tetapi para diplomat harus pandai membaca apa yang dikandung dalam teks hukum dan melihat jebakan-jebakan yang mungkin ada. Jangan sampai di kemudian hari bila perjanjian internasional digunakan sebagai argumentasi oleh lawan untuk memojokkan posisi Indonesia, akan dipersalahkan mereka yang terlibat dalam perundingan. Tanpa diplomat yang memiliki kemampuan ini sulit mengharapkan peran diplomasi yang optimal.
Sudah saatnya Indonesia lebih aktif dalam memanfaatkan Hukum Internasional sebagai instrumen politik untuk mencapai kepentingan nasionalnya*. (Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M, Ph.D ,Disarikan dari Pidato Dies Natalis ke-39 Universitas Pancasila)

Jumat, 08 Mei 2009

KRISIS MYANMAR : PERENUNGAN UNTUK ASEAN

Tepat awal bulan Oktober 2007 komunitas ASEAN dan Internasional dikejutkan dengan tragedi kemanusiaan di Myanmar

Dengan arogansinya junta militer Myanmar membubarkan demonstrasi damai yang dilakukan oleh para biksu, bahkan hal ini menimbulkan korban jiwa serta korban luka-luka cukup banyak. Hingga saat ini ratusan biksu serta masyarakat pro demokrasi ditahan oleh junta militer baik dalam kuil-kuil maupun penjara-penjara dadakan. Komunitas internasional berseru kencang kepada junta militer untuk segera mengakhiri perbuatanya. Tidak lebih utusan PBB Moh Gambari telah bernegosiasi dengan pihak junta, pro demokrasi serta pihak-pihak terkait lainya (Cina dan ASEAN). Namun setelah krisis berlangsung hampir 1 bulan, perkembangan signifikan yang terjadi hanya pencabutan jam malam di myanmar oleh pihak junta

PERAN ASEAN

Timbul pertanyaan dimana dan sejauh mana peran ASEAN dalam menangani kasus semacam ini, banyak kalangan yang menyesalkan sikap “lemah” ASEAN dalam menghadapi junta Myanmar. Namun demikian kita tidak serta merta dapat menyalahkan akan sikap ASEAN ini, karena ASEAN sudah berjalan pada koridor hukum yang telah ditetapkan secara bersama. Dalam deklarasi Bangkok telah ditetapkan bahwa penyelesaian krisis dalam tubuh ASEAN dilakukan secara komunikatif, serta non-intervensi antar negara. Hal inilah yang membuat ASEAN tidak dapat bersikap keras seperti memberikan sangsi ataupun ancaman, hal terkeras yang dapat diberikan ialah berupa kecaman-kecaman yang dikeluarkan oleh para pemimpin negara atas nama pemerintahan dan bukan ASEAN.

PERENUNGAN UNTUK ASEAN

Salah satu hal yang menjadi penyebabnya ialah lemahnya konstruksi ASEAN dalam bidang kesatuan. Secara nyata ASEAN disatukan oleh wilayah geografis dan beberapa kesamaan kultural dan ras, hal ini sejak dahulu selalu dibanggakan oleh komunitas ASEAN. Namun kenyataanya hal tersebut tidak berguna pada saat ASEAN menghadapi masalah-masalah antar negara ASEAN sendiri.

Pada kasus myanmar, negara-negara ASEAN bahkan tidak dianggap oleh myanmar yang saat ini lebih condong ke Cina dan India sebagai sekutunya. Hal ini membuktikan bahwa kesamaan geografis ASEAN tidak berlaku. Contoh lainya ialah perseteruan Malaysia dengan Indonesia, slogan “Bangsa Serumpun” yang selalu dikibarkan tidak mampu menyelesaikan krisis pencitraan antar kedua negara tersebut.

Dibandingkan Uni Eropa, ASEAN terlihat sangat tidak solid. Uni Eropa yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan jauh lebih solid dalam menghadapi masalah-masalah internal. Dari awal Uni Eropa memang dibentuk untuk sebagai suatu kerjasama bidang ekonomi (pada saat itu diberi nama European Coal dan Steel Community), sehingga walaupun mereka dipisahkan batas-batas geografis serta perbedaan kebudayaan yang ada, mereka tetap satu kepentingan yaitu kepentingan ekonomi regional. Hal ini sangat penting untuk menjadi bahan perenungan bagi ASEAN, apalagi dalam waktu dekat ini ASEAN akan segera meresmikan konstitusi/anggaran dasarnya. Maka setiap negara anggota ASEAN patut bertanya; Apakah ASEAN sudah memiliki satu kepentingan dan tujuan bersama? (NN)